JAKARTA – Komisi Informasi Provinsi DKI Jakarta berkolaborasi dengan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIKOM) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta menggelar Focus Group Discussion (FGD) mengenai Revisi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), Jumat (6/9/2024).
FGD ini menghadirkan narasumber Wakil Ketua KI DKI Jakarta, Luqman Hakim Arifin, dan Dosen FDIKOM UIN Jakarta, Ismail Cawidu.
Dekan FDIKOM UIN Jakarta, Gun Gun Heryanto, dalam sambutannya mengatakan bahwa FGD ini merupakan respons civitas akademika UIN Jakarta dalam mengawal keterbukaan informasi publik di Indonesia.
Menurut Gun Gun, UU KIP yang sudah lama diberlakukan perlu direvisi agar lebih relevan dengan perkembangan zaman serta kecepatan penyebaran informasi.
“UU KIP ini sudah lama, sejak tahun 2008, sehingga harus direvisi dan disesuaikan dengan dinamika kekinian. Banyak hal yang perlu ditambahkan dalam UU ini,” kata Gun Gun Heryanto.
Sementara itu, Wakil Ketua KI DKI Jakarta, Luqman Hakim Arifin, dalam paparannya menyampaikan terima kasih dan apresiasi kepada FDIKOM UIN Jakarta atas pelaksanaan FGD serta pemilihan tema urgensi revisi UU KIP.
“Kami berharap dari FGD ini muncul masukan dan catatan penting untuk revisi dan sinkronisasi UU KIP ke depan,” jelas Luqman.
Senada dengan Gun Gun, Luqman menegaskan bahwa UU KIP Nomor 14 Tahun 2008 memang sudah selayaknya direvisi. Selain karena sudah lama, banyak pula masalah dan kekurangan dalam implementasi UU KIP di lapangan yang tidak dapat diatasi dengan regulasi yang ada saat ini.
Salah satu contohnya adalah durasi permohonan informasi kepada badan publik yang dianggap terlalu lama dan birokratis di era yang serba digital dan cepat ini.
“Jangka waktu permohonan informasi saat ini adalah 10 hari kerja dengan tambahan 7 hari kerja, dan 30 hari untuk pengajuan keberatan. Artinya, masyarakat yang ingin memperoleh informasi publik harus menunggu hingga 1-2 bulan lebih,” ujar Luqman.
Contoh lainnya, menurut Luqman, adalah rendahnya kesadaran masyarakat terkait UU KIP, sehingga masih banyak yang belum mengetahui keberadaan UU ini, apalagi memanfaatkannya untuk partisipasi dalam kebijakan publik.
Sebaliknya, UU KIP justru sering dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak memiliki itikad baik dan malah mengganggu kinerja badan publik.
“Istilahnya ‘vexatious request’, di mana ada pemohon informasi yang tidak memiliki tujuan langsung terhadap informasi yang dimohonkan, melainkan hanya untuk mengganggu kinerja badan publik. Ini yang sering terjadi saat ini,” papar Luqman.
Hal senada disampaikan oleh Ismail Cawidu. Menurutnya, setidaknya ada empat aspek yang mendesak untuk direvisi dalam UU KIP.
Pertama, ketidakpastian dalam memperoleh informasi publik. Kedua, penyelesaian sengketa informasi yang lebih jelas. Ketiga, penguatan keputusan Komisi Informasi yang saat ini lemah dan cenderung sulit dieksekusi.
“Keputusan Komisi Informasi saat ini sangat lemah dan sulit untuk dilaksanakan,” ujar Ismail.
Keempat, perlunya penguatan kelembagaan Komisi Informasi, terutama di tingkat daerah. Ismail menyebutkan bahwa kecilnya alokasi anggaran untuk Komisi Informasi di daerah menjadi tantangan tersendiri dalam pelaksanaan UU ini.
“Komisi Informasi di tingkat daerah umumnya memiliki anggaran yang sangat kecil dan bersumber dari APBD. Kalau di Jakarta mungkin lebih baik, tetapi di daerah lain kondisinya sangat memprihatinkan,” pungkas Ismail.
FGD tentang Revisi UU KIP ini dihadiri oleh puluhan dosen dan mahasiswa FDIKOM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kegiatan ini merupakan rangkaian dari Dies Natalis Ke-34 fakultas tersebut.
Discussion about this post