TURKI, HUMAS MKRI – Seiring derasnya arus pertukaran informasi, upaya saling mempengaruhi acap kali berlabelkan pendekatan perbandingan praktik antarnegara. Begitupula yang terjadi di dunia hukum. Praktik pengujian konstitusional telah menjadi kelaziman yang diterapkan di negara-negara modern. Bahkan, negara-negara Islam pun tidak tertinggal dalam penerapan gagasan untuk mengadopsi pengujian konstitusional dengan disematkan pada lembaga peradilan.
Hal ini yang menggelitik rasa penasaran mengenai bagaimana praktik pengujian konstitusional di negara-negara Islam. Ide untuk mencari jawaban dan menggali rasa ingin tahu mengenai isu itu telah dimulai sejak beberapa tahun terakhir. Upaya ini ditangkap oleh lembaga peradilan di negara-negara Islam untuk menggelar konferensi rutin tahunan. Kali ini, Turki yang menjadi tuan rumahnya. Kegiatan kongres itu dihadiri oleh perwakilan peradilan konstitusional dari berbagai negara. Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams didaulat untuk mewakili Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) sebagai pembicara dalam konferensi internasional yang berlangsung pada Jumat (23/12/2022) di Istanbul, Turki tersebut.
Pada sesi yang mengangkat tema model pengujian konstitusional di negara-negara Islam, Wahiduddin memaparkan praktiknya di Indonesia. Ia menjelaskan bahwa Indonesia bukanlah negara Islam, tetapi juga tidak bisa disebut sebagai negara sekuler. Indonesia menetapkan Pancasila sebagai ideologi negara dan prinsip Ketuhanan memberikan warna dalam kehidupan bernegara.
Dalam praktik pengujian konstitusional, Indonesia menerapkan model campuran antara karakteristik abstract review dan concrete review. Kewenangan pengujian Undang-Undang sesungguhnya mengadopsi model abstract review yang banyak diterapkan di negara-negara Eropa. Namun, dalam hal penilaian kedudukan hukum pemohon untuk dapat mengajukan perkara, model yang diterapkan dipengaruhi oleh praktik di Amerika Serikat yang cenderung pada model concrete review.
Terlepas dari karakteristik model pengujian konstitusional, Wahiduddin mengajukan gagasan untuk kembali membuka lembaran-lembaran penelitian yang pernah dilakukan oleh para ulama dalam urusan bernegara. Sejatinya, terdapat ide-ide dari para ulama klasik yang bisa dikembangkan untuk menjawab persoalan konstitusional kontemporer. Dalam pembahasan mengenai isu konstitusional seringkali yang menjadi rujukan adalah cendekiawan dan pemikir dari daratan Eropa dan Amerika dengan latar belakang peradaban Barat.
Ada baiknya, lanjut Wahiduddin, kajian-kajian klasik para ulama di analisis secara mendalam untuk memberi nuansa modern sehingga bisa menjadi pilihan dalam pengembangan pemikiran konstitusional yang diterapkan di negara-negara Islam.
Selain Indonesia yang diwakili Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, pada panel yang sama ada juga perwakilan pengadilan dari Palestina, Iran, Somalia, Irak dan Turki. Masing-masing perwakilan peradilan memaparkan praktik model pengujian konstitusional yang diterapkan di negaranya. (*)
Penulis: Bisariyadi
Editor: Lulu Anjarsari P.
URL : https://www.mkri.id//index.php?page=web.Berita&id=18814
Discussion about this post