JAKARTA, HUMAS MKRI – Aturan mengenai sanksi tindak pidana kejahatan terhadap sediaan farmasi sebagaimana diatur dalam Pasal 196 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) tidak bertentangan dengan UUD 1945. Demikian tertuang dalam Putusan Nomor 106/PUU-XX/2022 yang dimohonkan oleh Rega Felix.
Dalam sidang pembacaan putusan tersebut, Mahkamah mempertimbangkan kejahatan luar biasa bukan hanya karena membunuh manusia semata, tetapi juga menghancurkan seluruh fasilitas publik, memperburuk ekonomi, dan mengganggu stabilitas keamanan nasional. Sementara kejadian dinyatakan luar biasa jika ada unsur timbulnya suatu penyakit menular yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal, peningkatan kejadian penyakit/kematian terus-menerus selama tiga kurun waktu berturut-turut menurut jenis penyakitnya. Maka, Pasal 196 UU Kesehatan yang dinilai Pemohon bertentangan dengan Pasal 28A, Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 tersebut memuat perbedaan yang prinsipil antara pengertian kejahatan luar biasa (extraordinary crime) dengan kejadian luar biasa. “Terlebih hal ini oleh UU Kekarantinaan Kesehatan telah mengatur mengenai jenis kedaruratan kesehatan dan mekanisme penanggulangannya,” ucap Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dalam sidang putusan yang digelar pada Selasa (20/12/2022).
Terhadap persoalan yang diajukan oleh Pemohon, Enny menyebutkan Mahkamah tidak menemukan bukti yang meyakinkan berkenaan dengan kejadian luar biasa yang dimaksudkan. Sebab atas kasus konkret yang disebutkan Pemohon ternyata Pemerintah telah melakukan beberapa upaya, di antaranya melakukan penarikan terhadap semua obat sirup di masyakarat, menerbitkan Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Nomor HK.02.02/I/3305/2022 tentang Tata Laksana dan Manajemen Klinis Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal (Atypical Progressive Acute Kidney Injury) pada Anak di Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Selain itu, sambung Enny, Kementerian Kesehatan juga telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor SR.01.05/III/3461/2022 tentang Kewajiban Penyelidikan Epidemiologi dan Pelaporan Kasus Gangguan Ginjal Akut Atipikal (Atypical Progressive Acute Kidney Injury) Pada Anak, yang ditujukan kepada seluruh dinas kesehatan, fasilitas pelayanan kesehatan, dan organisasi profesi, sehingga persoalan tersebut secara perlahan mulai teratasi dan diobati.
Meningkatkan Pengawasan
Namun demikian, Enny menyatakan terlepas dari kasus konkret yang dipaparkan oleh Pemohon Mahkamah meminta agar Pemerintah harus terus meningkatkan pengawasan terhadap siapapun yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan dalam mengadakan, menyimpan, mengolah, mempromosikan, dan mengedarkan obat dan bahan yang berkhasiat obat tanpa memenuhi standar mutu pelayanan farmasi yang telah ditetapkan. Oleh karena undang-undang telah menentukan kategori kejahatan yang dapat dinyatakan sebagai extraordinary crime, apabila dalam perkembangannya kejadian luar biasa yang berkaitan dengan kesehatan jika akan diperluas cakupannya sebagai kejahatan luar biasa sebagaimana dalil Pemohon, hal demikian dapat saja dilakukan sepanjang telah melalui proses kajian atau penelitian yang mendalam dengan melibatkan seluruh pihak terkait. Sebab hal ini menjadi ranah kebijakan pembuat undang-undang untuk menentukan.
“Dengan demikian, Mahkamah tidak dapat dengan serta merta menambahkan jenis tindak pidana/kejahatan termasuk dalam hal ini, kejahatan farmasi untuk dimasukkan dalam kategori extraordinary crime,” jelas Enny.
Evaluasi Regulasi dan Implementasi Izin Edar
Selanjutnya terkait dengan ancaman pidana dalam norma Pasal 196 UU Kesehatan yang dipandang ringan oleh Pemohon, Mahkamah menegaskan hal tersebut berkaitan dengan strafmaat yang menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan kualifikasi delik pidana. Sebab tidak mungkin kualifikasi delik pidana tersebut diserahkan kepada pembuat undang-undang, sedangkan ancaman pidana diserahkan ke Mahkamah. Enny mengatakan bahwa ancaman pidana adalah refleksi dari kualitas perbuatan pelaku tindak pidana yang menjadi parameter untuk menjatuhkan berat ringan pidana yang dijatuhkan. Kembali lagi bahwa hal demikian menjadi kewenangan pembuat undang-undang.
Sementara itu, berhubungan dengan jenis ancaman pidana, Mahkamah merujuk pada Putusan Nomor 46/PUU-XIV/2016 yang pada intinya menyatakan apabila pengujian undang-undang yang pada pokoknya berisikan permohonan kriminalisasi maupun dekriminalisasi terhadap perbuatan tertentu, maka tidak dapat dilakukan oleh Mahkamah karena hal itu merupakan salah satu bentuk pembatasan hak dan kebebasan seseorang sebagaimana termuat dalam Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945 sehingga hal ini kewenangan eksklusif pembentuk undang-undang.
Senada dengan pernyataan ini, Pemohon mendalilkan ada kekhawatiran dan rasa takut yang luar biasa terhadap kejadian yang menimpa anak-anak sebagai korban. Menurut Mahkamah, hal tersebut tidaklah harus diatasi dengan memberatkan sanksi pidana, karena sanksi pidana adalah sanksi terakhir dalam penegakan hukum. Sehingga Mahkamah perlu mengingatkan bahwa kasus-kasus epidemi penyakit karena adanya dugaan penyalahgunaan bahan kimia pada produk farmasi yang dimungkinkan akan terus berpotensi untuk muncul. Oleh karena itu, diperlukan evaluasi secara berkala terhadap regulasi dan implementasi izin edar dan pengawasan atas produk-produk kimia dalam makanan, minuman, dan sediaan farmasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, sehingga masyarakat merasa aman pada saat menggunakan produk tersebut.
“Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum, menurut Mahkamah dalil Pemohon berkenaan dengan pengujian norma Pasal 196 UU Kesehatan telah ternyata tidak menimbulkan persoalan perlidungan rasa takut dan hak untuk hidup sebagaimana dijamin oleh Pasal 28A, Pasal 28B ayat (2), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, dalil-dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum,” ucap Enny.
Sebagai informasi Pemohon menyebutkan sediaan farmasi yang tersedia di masyarakat ternyata mengakibatkan kematian massal secara meluas sehingga perbuatan mencemari sediaan farmasi demikian sepatutnya dikategorikan sebagai kejahatan. Sebab, kejahatan yang berdampak multidimensional tersebut menyangkut rasa kemanusiaan dan hak asasi manusia yang bersifat non derogable rights sebagaimana termaktub dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.
Oleh karenanya, Pemohon menilai bahwa UU seharusnya menjadi alat pencegah dari kejadian yang tidak diinginkan dalam masyarakat, namun pasal a quo hanya memberikan sanksi ringan sehingga pelaku kejahatan terhadap sediaan farmasi tidak takut untuk melakukan perbuatannya, padahal dampak atas perbuatannya sangat masif dan menciderai rasa kemanusiaan. Rasa takut luar biasa di masyarakat telah secara aktual terjadi secara luas. Hal ini mempengaruhi Pemohon dan keluarga sebagai bagian dari masyarakat. Rasa takut ini disebabkan obat-obat esensial yang umum beredar di masyarakat ternyata menjadi penyebab kematian anak-anak. Kejadian ini terlihat dari ditariknya obat-obatan berbentuk sirup dari peredaran, padahal obat-obat tersebut esensial bagi anak-anak.(*)
Penullis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina
URL : https://www.mkri.id//index.php?page=web.Berita&id=18807
Discussion about this post