JAKARTA, HUMAS MKRI – Pengujian undang-undang (PUU) terhadap UUD 1945 merupakan bagian dari kewenangan MK yang paling penting. Demikian disampaikan oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo dalam Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) Angkatan ke-XIV yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Andalas (FH Unand) bekerja sama dengan Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN PERADI) yang dimoderatori oleh Beni Kharisma Arrasuli, pada Sabtu (24/12/2022).
Suhartoyo yang hadir secara daring menyampaikan meskipun dikaitkan dengan hukum acaranya, kewenangan MK secara universal adalah menguji undang-undang terhadap UUD. Ia menjelaskan, MK memiliki empat Kewenangan dan satu Kewajiban. “MK wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD,” ujarnya secara daring.
Lebih lanjut Suhartoyo menyampaikan, terdapat beberapa ketentuan yang harus dipahami para pihak dengan saksama. Di antaranya, dalam pemberian kuasa beracara di MK, Pemohon dan/atau Termohon (dalam kaitannya dengan sidang PHPU/Pilkada) dapat diwakili oleh kuasa hukum. Sedangkan lembaga negara, Pemohon dapat diwakili oleh pejabat yang ditunjuk atau kuasanya. Kuasa hukum yang beracara tersebut pun tidak harus advokat.
Sementara itu, Suhartoyo menyampaikan bahwa syarat adanya kerugian konstitusional apabila adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan UUD 1945. Bahwa kerugian yang dimaksudkan tersebut dapat bersifat spesifik dan aktual atau setidaknya potensial menurut penalaran wajar dapat dipastikan terjadi; adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dimaksud dengan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujiannya; dan adanya kemungkinan dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak lagi terjadi.
Dalam pengajuan perkara pengujian undang-undang ke MK disebut adanya istilah permohonan dan bukan gugatan. Mengenai hal ini, Suhartoyo mengatakan dalam PUU di MK pada hakikatnya hanya ada satu pihak dalam pengajuan perkaranya. Meskipun dalam perkara seperti pada perkara Pemilu dan Pilkada juga disebutkan istilah permohonan. Hal ini dikarenakan Presiden, Pemerintah, dan DPR bukan pihak yang berlawanan, tetapi hanya bertindak sebagai pemberi keterangan.
“Keberadaan mereka hanya sebagai pemberi keterangan sehubungan dengan permohonan yang diajukan dalam hal dengan PUU, itu bukanlah sengketa kepentingan,” jelas Suhartoyo.
Sifat Putusan MK
Berikutnya, Suhartoyo mengutarakan pula mengenai putusan MK. Bahwa putusan MK yang bersifat erga omnes. Artinya, bersifat memengaruhi seluruh keberadaan norma dalam keberlakuannya dalam kehidupan bernegara yang harus dipatuhi dan diikuti dan kekuatan mengikatnya universal. Sementara itu, dalam access to justice, MK membuka berbagai sarana, di antaranya video conference, video meet, permohonan online, dan berbagai sarana digital lainnya yang memudahkan para pihak.
Pada kesempatan ini, Suhartoyo juga menjelaskan rangkaian persidangan yang harus dilalui oleh para pihak, mulai dari sidang pendahuluan sebagaimana ketentuan yang tertuang dalam Pasal 40 dan 41 UU MK. Usai memberikan materi, Suhartoyo memberikan kesempatan bagi para peserta untuk mengajukan pertanyaan dan diskusi terbuka yang berkaitan dengan kewenangan MK sebagai peradilan konstitusi.
Advokat harus paham hukum acara
Suhartoyo juga menegaskan seorang advokat harus paham dengan hukum acara khususnya ketika akan mengajukan permohonan pengujian untuk mewakili prinsipal. Ia menyebut, setiap acara ketika menjadi advokat di peradilan manapun harus kuasai hukum acaranya. “Setiap perkara ketika bapak ibu akan beracara maka harus memahami hukum acaranya dimanapun peradilannya,” tegas Suhartoyo.
Menurut Suhartoyo, beracara di MK harus menguasai hukum acara baik pengujian undang-undang terhadap UUD, sengketa kewenangan lembaga negara dan lainnya. Karena setiap pengujian berbeda hukum acaranya. Semua hal yang bapak ibu jadi kuasa hukum maupun jadi principal itu tidak bisa dijadikan tujuan perjuangan bapak ibu sebagai advokat kalau tidak menguasai hukum acara. “Oleh karena itu saya pesankan sebagai advokat suka tidak suka membaca hukum acaranya,” tandasnya.
Dalam kesempatan tersebut, Bagas yang menjadi peserta mempertanyakan kekuatan eksekutorial dari putusan MK. Menanggapi pertanyaan tersebut, Suhartoyo menjelaskan putusan MK memiliki kekuatan hukum sejak dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum dan kemudian putusan tersebut diperintahkan dicantumkan dalam lembaran negara. Menurutnya, tidak perlu alasan lain lagi untuk tidak mematuhi Putusan MK.
“Sebenarnya putusan MK sudah bisa mengikat dan harus dipatuhi oleh masyarakat umum. Persoalannya kemudian jika ada yang tidak patuh, tidak hanya dialami oleh badan peradilan seperti Mahkamah Konstitusi. Namun juga, badan peradilan lain juga mengalami hal itu,” tandas Suhartoyo (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
URL : https://www.mkri.id//index.php?page=web.Berita&id=18812
Discussion about this post