JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang uji materiil Pasal 1 sampai dengan Pasal 95 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) terhadap UUD 1945 pada Rabu (9/11/2022) dengan agenda perbaikan Permohonan. Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 102/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh lima orang perangkat desa yaitu Hendra Juanda, Wibowo Nugroho, Yuliana Efendi, Fredi Supriadi, dan Utep Ruspendi.
Dalam sidang perbaikan Yuliana Efendi mengatakan telah memperbaiki permohonan sesuai dengan arahan dari panel hakim dalam sidang sebelumnya. Di antaranya, perbaikan pada sistematika permohonan dan posita.
“Adapun perbaikan di antaranya mengenai sistematika penyusunan permohonan serta posita dengan meringkasnya,” Yuliana Efendi secara daring kepada panel hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Saldi Isra dengan didampingi Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams.
Selanjutnya, sambung Efendi, pada petitum para Pemohon memohon kepada Mahkamah agar berkenan menjatuhkan putusan dengan amar mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Selain itu, memohon kepada Mahkamah agar menyatakan pasal-pasal yang diujikan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat.
Selanjutnya, dalam persidangan ini panel hakim mengesahkan bukti yang diajukan oleh para Pemohon. “Anda menyerahkan bukti P-1 sampai bukti P-9, benar? Benar ya. Bukti kita sahkan karena sudah diverifikasi,” kata Hakim Konstitusi Saldi Isra.
Sebagai tambahan informasi, permohonan Nomor 102/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) diajukan oleh lima orang perangkat desa yaitu Hendra Juanda, Wibowo Nugroho, Yuliana Efendi, Fredi Supriadi, dan Utep Ruspendi. Para Pemohon mengujikan Pasal 1 sampai dengan Pasal 95 UU Desa.
Hendra Juanda dalam sidang perdana yang digelar di MK, Kamis (27/10/2022) mengatakan UU Desa tidak berdampak pada kesejahteraan hidup para perangkat desa. Sebaliknya, para perangkat desa justru dirugikan dengan berlakunya UU Desa.
“Kami tidak diakui sebagai alat negara karena kami sebagai yang bekerja di institusi pemerintah yang notabene sebagai bagian dari pemerintah terkecil di NKRI tetapi sampai saat ini status kepegawaian kami masih belum jelas apakah kami ASN, apakah kami karyawan atau PPPK, sampai saat ini belum ada kejelasan. Sementara kami harus melaksanakan tugas-tugas negara sebagai penyedia layanan publik dan penyedia barang publik,” kata Hendra secara daring kepada majelis panel yang dipimpin Hakim Konstitusi Saldi Isra dengan didampingi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams.
Dalam permohonannya, para Pemohon menyebutkan kebijakan politik desa melalui UU Desa merugikan para Pemohon dan warga desa seluruh Indonesia. Perangkat desa sangat dirugikan karena diberi tugas oleh negara untuk melaksanakan undang-undang, tapi tidak diangkat sebagai ASN. Rakyat desa sangat dirugikan karena tidak diurus oleh satuan pemerintahan formal sebagaimana warga kota. Akibatnya warga desa hanya dilayani oleh organisasi pemerintah semu dengan perangkat desa yang tidak kompeten dan profesional karena mereka bukan aparatur sipil negara (ASN) yang direkrut, dikembangkan, diberi jabatan karir, digaji, dan pensiun sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
Selain itu, warga desa didiskriminasi oleh negara karena dibedakan dengan warga kota. Warga kota diurus oleh satuan birokrasi negara formal, yaitu kelurahan dengan perangkat kelurahan yang kompeten dan profesional karena mereka adalah ASN. Warga desa juga tidak mendapatkan barang publik dan/atau jasa publik dari satuan pemerintahan formal modern, tapi hanya mendapatkan pelayanan dari organisasi pemerintah semu warisan penjajah Jepang dengan nomenklatur pemerintah desa. Akibatnya warga desa tidak menerima barang publik dan/atau jasa publik dasar yang dibutuhkan yaitu pendidikan, perawatan kesehatan, air minum, pengurusan sanitasi, transportasi publik desa, pemberian KTP dan KK warga desa, pengurusan anak yatim dan anak terlantar, perumahan warga desa, persampahan, pengurusan pertanian (persawahan, perkebunan, perikanan, peternakan, pernelayanan), pengurusan irigasi tersier, penyediaan sarana produksi pertanian (bibit, pupuk, obat-obatan, alat pertanian), penyediaan sarana-prasarana ekonomi rakyat desa, penyediaan keuangan mikro petani dan nelayan, penataan lingkungan desa, dan utilitas desa.
Oleh karena itu dalam petitum para Pemohon meminta MK agar menyatakan Pasal 1 sampai dengan Pasal 95 UU Desa bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat. (*)
Discussion about this post